Nasi Campur Ayam Men Weti: Kuliner Legendaris di Pantai Sanur

ditulis oleh Marrysa Tunjung Sari

Pernah merasakan rindu dengan rasa sebuah makanan? Tiba-tiba terbayang dengan sangat jelas jejak rasa saat masuk ke mulut dan perasaan bahagia setelahnya. Jika dibuat daftar makanan apa saja yang bisa memancing kerinduanmu?

Silakan datang untuk mencoba Nasi Campur Men Weti, semoga rekomendasi ini bisa menjadi bagian dari daftar kuliner yang akan kalian rindukan. Untuk sebagian orang, nasi campur yang berlokasi di pantai Sanur ini adalah Comfort food bagi mereka. Banyak dari mereka rela antre lama dan panjang hanya untuk mendapatkan sepiring nasi campur men weti.

Men Weti, men berarti ibu dalam bahasa Bali, merupakan sosok pedagang nasi legendaris yang berjualan di Jalan Segara Ayu, Sanur. Warung nasinya sudah berdiri sejak tahun 1970-an, ketika kamu berada di sana kamu akan melihat baskom dan pinggang yang berisi Ayam Be Tutu, Sate Lilit, Telur Bumbu Tomat Pedas, Sayur Urap, Ikan Bumbu, Ubi Bumbu Cabai, Kacang Tanah Goreng, Kulit Ayam Goreng, dan Sambal Matah.

Lalu apakah semua itu akan bercampur dalam satu piring? Ya, dalam satu piring nanti akan ada nasi, sayur urap Bali (tauge, bayam, kacang panjang, pare, kangkung, dan daun gonda), ayam suwir bumbu betutu, telur bumbu tomat pedas, benyuh atau kelapa serut bakar dan terakhir akan disiram kuah kaldu berwarna kuning dan diberi kulit ayam yang garing.

Apa itu daun gonda? Di Bali disebut gonda, sementara di Jawa tengah gundo atau gunda di Tanah Sunda. Tumbuhan gonda secara umum dikenal sebagai gulma tanaman padi sawah, di Bali biasanya dimasakan menjadi plecing gonda. Gonda di Men Weti dimasak dalam bentuk urap. Rasanya lembut dan gurih.

“Dicampur saja makannya. Percampuran rasa gurih, kriuk, pedas, manis akan berimbang dengan nasi panas yang pulen. Begitu cara kami menikmatinya”, jelas Nyoman yang memperhatikan cara makan saya.

Bli Nyoman yang duduk di samping saya menjelaskan tentang cara menikmati nasi Bali yang tepat dengan menggunakan tangan dan mengaduk semua. Ya memang benar, walaupun belum terbiasa tetapi setelah dicoba memang rasanya jadi lebih kuat. Sambal matah bersama bawang bercampur dengan urap lalu disambut dengan gurih kering kulit ayam.

Sementara menikmati tidak terasa waktu menunjukkan 08:30 WITA, pelanggan terus berdatangan dan semakin banyak. Antrean semakin panjang ditambah lagi para driver grabfood yang berdiri membaca pesanannya. Senang bisa melihat interaksi di antara driver dan pelayan di warung Men Weti, mereka terlihat sudah akrab dan saling mengenal. Tegur sapa dan memanggil nama setiap driver yang datang sungguh menarik.

“Pesan yang 20.000 dua, 40.000 satu,” ujar salah satu driver Grabfood.

Setelah bertanya pada salah satu yang melayani, menu 20 ribu itu adalah menu komplit hanya saja porsinya dikurangi setengahnya dan untuk menu 40 ribu semua komplit. Ketika saya duduk, saya memesan pesanan standar duduk di warungnya dihargai Rp20.000 itu saja sudah sangat mengenyangkan.

Yang menarik dari adanya penambahan pelanggan pesan antar online, tidak membuat menu masakan di Men Weti tidak dilebihkan. Selalu dalam porsi jualan yang sama setiap hari, seramai apa pun mereka tetap menambah. Jadi disarankan untuk datang lebih pagi sekitar pukul 07:00 WITA, terkadang kita harus menunggu sedikit atau memesan di grabfood 08:00. Apalagi saat akhir pekan, bisa-bisa pukul 10:00 sudah kehabisan.

Men Weti, Sang Legendaris
Kunjungan ke warung Men Weti di tahun 2019 memang ada yang kurang, saya tidak lagi melihat sosok berkebaya dengan rambut tergelung sibuk meladeni pelanggannya. Perempuan yang memiliki hobi bekerja, menghembuskan nafas terakhirnya pada bulan April 2017 lalu. Usahanya diturunkan kepada anak-anaknya sejak lama, Men Weti nampaknya sudah mempersiapkan dengan baik. Semenjak kepergiannya, rasa nasi ayam Men Weti masih terasa sama, yang berbeda hanya ketidakhadiran dirinya di pojokan ujung jalan Segara Ayu. Terima kasih Men Weti untuk sepiring rasa yang selalu bisa menghibur.

Tentang Penulis

Marrysa Tunjung Sari adalah fotografer profesional yang bekerja selama 6 tahun sebagai Editor in Chief untuk Linkers – Citilink Inflight Magazine serta jurnalis foto dan penulisan lepas bagi National Geography Indonesia (Travel). Mbak Sasha, demikian ia dipanggil, kerap mengajar kelas fotografi teknis, Travel Photo Story dan Streetfood Photography. Beberapa penghargaan Internasional dan nasional diperolehnya untuk karya foto dan cerita mengenai perjalanan atau travel photography. 

Baca Artikel Menarik Lainnya