Sate Madura Kuah Padang di Kota Medan

Tak terpikirkan untuk mengunjungi tanah kelahiran orang tua, kalau bukan karena pernikahan adik semata wayang yang membawaku kembali ke Medan setelah sekian tahun tidak bertandang.

Banyak sudah berubah, ternyata. Aku terkesan dengan kereta di dalam bandara yang berkesan mewah, dan membuat perjalanan dari Kualanamu ke kota menjadi ringkes dan mudah… kalau sendirian. Karena aku bareng keluarga dan bawa bagasi pula, aku pakai GrabCar Airport. 

Awalnya, jalan bersama keluarga besar, terasa melelahkan… karena banyaknya persiapan harus dilakukan. Namun kembali ke kota asal menimbulkan perasaan hangat yang tak terbayangkan, hampir seperti kerinduan.

Rasa familiar dan kedekatan ini, mungkin yang membuat orang-orang kangen pulang kampung. Seiring melintas, Kota Medan semakin dewasa jadi sangat menawan. Bisa mengejar zaman, tapi tanpa kehilangan identitasnya. Karena ada yang masih sama. Tempat-tempat makan orisinilnya.

 

Di tanah kelahiran orang tuaku, banyak kulinari enak. Berkuah, berlemak, berminyak, dipanggang, dibakar. Semuanya ada. Udara yang panas-panas sejuk turut mendukung selera makan yang datang terus. 

Dan ohh, senangnya… menemui Sate Memeng masih ada di tengah kota! Ini sate langganan dari zaman Opung masih hidup dulu. Dahulu beliau sering mengajak kemari sore-sore, karena aku dan adikku malas makan, kecuali sambil dibawa jalan-jalan. Cukup terkejut ternyata tempat ini masih ramai. Namun memang sih, ini destinasi singgahnya orang-orang, turis, artis, hingga pejabat. 

Aku book satu ruangan yang sekedap saja dipenuhi oleh keluargaku yang kelaparan, sebelum lanjut lagi acara. Masing-masing ambil posisinya duduk saling berhadapan. Kebaya dan setelan jas yang elegan kelihatan kontras dengan kesederhanaan rumah makan dan dindingnya yang pastel kekanak-kanakan. 

Pemilik kuliner lekker ini adalah Memeng, kependekan dari H. Muhammad Saimin. Konon, bekennya nama Memeng berawal karena dahulu pelanggannya kebanyakan orang Tionghoa yang sulit menyebutkan namanya, Saimin, jadi memanggilnya “Meng, Meng”. Dari sana sebutannya jadi Memeng. 

Di tengah hangatnya kepulan asap, obrolan nostalgia mendominasi. Hari ini rasanya seperti belasan tahun lalu. Gelegar hingar bingar beradu dengan suara kendaraan lalu lalang di luar. Asap yang menebarkan bau bakaran menyisipkan aroma manis dan pedas ke langit-langit. Tetapi semuanya tertawa penuh kebahagiaan. Tidak memedulikan asap. Pembahasan demi pembahasan dikupas, mengabaikan lapar yang bikin lemas. Sabar menantikan kipasan sate usai dan dihidangkan, yang diidam-idamkan sejak pesawat lepas landas.

Sambil angin semilir menampar pipiku, menunya kutengok lagi. Kuperhatikan satu persatu, sepertinya nggak banyak berubah. Masih ada sate daging sapi, daging kambing, ayam, hati, usus dan campur. Bumbu satenya bisa pilih sendiri. 

Pilihan sambal untuk menjadi teman makannya ada tiga, sambal kacang, kecap dan padang. Bebas mau campur langsung di sate atau dipisah. Karena sama enaknya.

Racikan satenya sudah dijajakan sejak tahun 1945. Mulanya hanya Sate Kuah Kacang dan Sate Bumbu Kecap. Lalu muncul kemudian, Sate Kuah Padang. Karena orisinilitasnya, sate ini sering mendapatkan penghargaan, salah satunya dari Penang Festival Kuliner di Malaysia. 

Tidak sampai ayam berkokok, datang sateku. Teringat kembali ciri khas sate di sini memang potongan dagingnya yang besar-besar dan tebal. 

Kuangkat satu tusuknya dan sepotong lontong, kucampur bersama bumbunya. Ooh… legitnya. Bumbu pada satenya meresap enak. Terasa aksen kuat dari tumbukan cabai, bawang dan merica. 

Walau jualannya di Kota Medan, Sate Memeng sebetulnya sate khas masakan Madura. Awalnya cuma beralas tampah atau talam dijual di pasar di Jalan Garut. Karena laku, dimulailah masa memakai gerobak sorong.

Banyak yang menggemari satenya sehingga tempat usaha Memeng terus beranjak naik kelas dan akhirnya pindah ke Jalan Asmar / Jalan Irian Barat memakai ruko dan steling.

Sekarang usaha Sate Memeng diteruskan generasi keempat, oleh sang cucu yang memiliki nama Siti Aprilia. Meski bisnisnya sudah diturunkan, tetapi keaslian rasanya masih seperti ingatan ketika sering makan di sini. Seandainya dari waktu itu Sate Memeng sudah ada di GrabFood seperti saat ini, mungkin akan sering juga kita pesan ke rumah.

Menu kesukaan kita juga adalah mie rebusnya. Bentuknya serupa mi kocok Bandung isiannya tauge, kentang rebus dan topping kerupuk kanji. Biasanya kalau lagi pesan ini dibarengi dengan pesan jus atau soft drink.

Tidak sampai setengah jam, pesanan kami setiap tusuk sate dan lontongnya ludas masuk ke dalam perut. Mengenyangkan tanpa harus mengeluarkan harga yang mahal, adalah satu lagi memori yang masih sama dan belum berubah dari tempat ini. 

Kami lanjutkan perjalanan dengan kenangan baru. Di lain waktu, menyegarkan juga untuk napak tilas lagi berkuliner di Kota Medan.

 

ALAMAT Jalan Irian Barat Gang Buntu, atau pesan di GrabFood

HARGA Kira-kira Rp25.000 isi 5 tusuk sate (belum termasuk lontong atau nasi)

DETAIL Buka setiap hari dari pukul 6 sore sampai 1 pagi

MENU REKOMENDASI Sate dan Mi Rebus