Gudeg Bu Djuminten yuk. Mumpung di Yogyakarta.

 

Nggak semua kota besar, sibuk. Mengejar apapun itu yang dikejar. Ada kota besar yang tak seambisius itu, namun sangat hidup. Namanya, Kota Yogyakarta.

Kota seni yang nyentrik ini pernah menjadi ibukota. Tapi tak menjadikannya kota yang tak pernah tidur, layaknya karakter ibukota yang kita tahu.

Aku menyukai pelannya waktu berjalan di sini. Seakan setiap detik berharga dan membuat kita terhenti untuk memperhatikan hal yang kecil-kecil, yang biasanya terlewat mata.

Yogyakarta, kota yang detail dalam berkarya. Lihat saja Candi Borobudurnya yang menjadi keajaiban dunia. Batiknya yang punya seribu cerita. Atau gudegnya yang beragam rupa. 

Itu hanya gudeg. Tapi di Yogyakarta penting untuk menyajikan sesuatu beda dari tetangga, karena masing-masing punya selera.

 

Di titik nol Yogyakarta, ku memulai langkah. 

Sebagai kota gudeg, Yogyakarta menawarkan sejumlah warung gudeg untuk dikunjungi. Ada Gudegnya Yu Djum, Gudeg Pawon, Gudeg Permata, Gudeg Djumilan.

Tapi Gudeg Bu Djuminten belum pernah kucoba. Padahal tempat ini lebih lama dari yang lainnya. Dan sudah ada sangat sangat jauh sebelum zaman kemerdekaan.

Gudeg Bu Djuminten buka dagangan sejak tahun 1926. Dan saat ini dipegang oleh generasi ketiga.

Suasana jadul pun kental terasa, sejak masuk warungnya. Bangkunya tertata rapi dan cukup banyak. Dekorasinya klasik minimalis ala bertandang ke rumah oma. 

Adalah seorang bernama Sutrisno, yang dipercayakan mengelola tempat ini sehingga langgeng bertahan, dan membuat nama Gudeg Bu Djuminten melegenda.

Ciri khas yang tak ditinggalkan, adalah kuah areh yang mengeluarkan gurih di lidah.

Arehnya basah. Diramu dari kelapa asli sehingga kentalnya seperti kuah Padang. Karena kuah areh ini lah, Gudeg Bu Djuminten beda sendiri dari gudeg yang lainnya. Yang biasanya didominasi oleh rasa manis.

Kupesan gudegnya, yang bentukannya seperti masakan rumah. Tapi dari detailnya, nampak kaya bumbu dan cita rasa.

Oowww, legitnya! Tidak terlalu manis dan tidak terlalu pedas. Tidak kering sebagaimana tipe gudeg aku suka. Dua temanku yang menemani makan dan bukan penggemar gudeg, menyukai gudegnya! Yang mereka kenal gara-gara AADC 2.

Kreceknya terbaik dari gudeg lain yang pernah melewati sensor lidahku. Pantasan ini menjadi rekomendasi orang-orang. Tapi sayangnya baru sekarang sempat kupesan.

Enak sekali. Terbayang ku makan lagi malam nanti. Boleh bawa bungkus, katanya, karena disediakan kotaknya. Tapi sepertinya aku pesan lewat GrabFood saja, karena habis ini masih melanjutkan perjalanan.

Sudah satu abad, Gudeg Bu Djuminten berjaya.

Rahasianya dipegang oleh seorang lainnya, namanya Joko. Dialah yang bertanggung jawab di dalam dapur dan segala urusan di sana, dan mempertahankan olahan yang sama.

Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, Joko masih terhitung tajam memastikan kualitas ayamnya dimasak dengan bumbu semur selama satu setengah jam. Menggunakan ayam kampung muda.

Dan ada lagi rahasia lainnya. Pemakaian kayu bakar dari pohon sono keling, masih diteruskan sebagai warisan yang terjaga, ketika memasak bahan-bahan bakunya.

Tapi tidak semua dimasak di atas kayu ini. Hanya areh, gudeg, dan telornya. 

Gudegnya sendiri, butuh waktu tiga jam lebih untuk dimasak. Masuk di dalamnya, gula merah atau gula Jawa asli yang didapat dari produsen di kota yang sama. 

Saking lamanya waktu memasak, Gudeg Bu Djuminten cuma dimasak tiga hari satu kali, dalam gentong besar berkapasitas satu kwintal. Seharian memasak gudegnya menghabiskan dua puluh ekor ayam sekaligus. 

Tetapi betul adanya. Waktu menentukan kualitas. 

 

Pernah dengar trik “Melambat untuk mempercepat”? Ketika diburu pekerjaan yang menumpuk tetapi kerja otak malah melamban, cobalah melambat dan kembalikan kecepatan kita ke titik nol, untuk beberapa saat. Lihat seberapa kencang kita akan mengejar semuanya, kemudian.

Seperti yang kulakukan sekarang di Yogyakarta. Santai menghabiskan gudeg yang porsinya lumayan ditemani senda gurau bareng teman. Mengisi ulang batre kepala agar kembali normal.

Warung Gudeg Bu Djuminten mudah ditemukan. Ancang-ancangnya dari tugu Jogja, cari saja kawasan Kranggan, yang masih jadi bagian dari pecinan Jogja. Bangunan warungnya retro berjendela kaca bening yang sangat lebar. Pastinya takkan terlewatkan.

 

ALAMAT Jalan Asem Gede, Yogyakarta, atau pesan di GrabFood

HARGA Kira-kira Rp500 – Rp150.000 per porsi

DETAIL Buka setiap hari dari pukul 7 pagi sampai 9 malam

MENU REKOMENDASI Gudeg