Terinspirasi dari Bon Jovi yang Pernah jadi Office Boy, Dikki Dobrak Stigma dengan Kerja Keras

Bandung, Oktober 2019 Dari jutaan siswa SMA di Indonesia, mungkin cuma segelintir orang yang bertekad demi mewujudkan kuliah tanpa biaya dari orang tua. Salah satunya adalah Dikki Wahyu Afandi. Empat tahun lalu, Dikki berjanji kepada ibunya untuk bisa kuliah dan menanggung seluruh biayanya sendiri. Beberapa bulan lagi, tepatnya Desember tahun 2019, Ibu Dikki akan menyaksikan buah pembuktian anaknya. Ya, Dikki akhirnya akan wisuda, ia menepati janjinya.

Dikki adalah seorang mahasiswa yang bekerja sambilan sebagai mitra pengemudi layanan roda dua GrabBike. Berbagai rintangan untuk menuntut ilmu dan mencapai cita-citanya ia jalani bermodalkan ikhlas dan kerja keras.

Sebelum menjadi mitra pengemudi GrabBike, Dikki sejak SMA belajar mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia berjualan gorengan dan tidak malu akan hal itu. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, hasil keringatnya selalu ia berikan untuk ibu dan adiknya.

Dikki, yang merupakan anak pertama dan menjadi yatim sejak kelas 1 SMP, sadar bahwa dirinya harus menjadi teladan bagi adiknya. Selain itu, dia juga harus menjadi tulang punggung keluarga untuk membantu perekonomian keluarga, ketika ibunya bekerja keras di bidang konveksi.

Saat memasuki dunia kampus, Dikki—yang baru menyelesaikan studi di jurusan Sejarah Peradaban Islam dan tinggal menunggu diwisuda—masih berjualan gorengan di sela-sela kuliahnya kala itu. Hal tersebut ia lakukan semata-mata agar terus bisa melanjutkan kuliah. Meski harus berjualan gorengan, Dikki tetap percaya diri melakoninya, karena ia berpikir selagi tidak merugikan kehidupan orang lain di sekitarnya.

Saat kuliah, Dikki bisa berjualan di kampus. Namun, ketika akhir pekan dan libur semester, ia kebingungan mencari penghasilan untuk biaya kuliah dan sehari-hari. 

“Ada saat-saatnya saya tidak jualan, saat kampus libur tiga bulan, saya bingung harus kerja dari mana. Biaya sehari-hari, biaya motor, segala macem, harus dibayar dari mana?” kata Dikki.

Memasuki tahun 2018, di tengah himpitan ekonomi, Dikki tak sengaja ‘berkenalan’ dengan Grab. Kakak salah seorang teman baiknya yang memperkenalkan Dikki kepada Grab.

“Masuk Grab tidak sengaja. Dulu di kampus saya jualan gorengan. Kemudian bertemu dengan kakak teman dekat yang jadi driver Grab. Setelah beliau cerita, dari situ saya tahu Grab itu seperti apa, ojek online itu seperti apa. Ternyata penghasilannya lumayan. Enakeun (sangat menguntungkan). Baguslah buat ngisi-ngisi waktu luang,” ujar pemuda asal Cicalengka ini dengan logat Sundanya.

 

Kuliah sembari bekerja sebagai mitra pengemudi GrabBike, diakui Dikki, ternyata perlu tenaga dan pikiran ekstra. Namun, Dikki selalu fokus pada tujuan utamanya. Ia selalu berusaha membagi waktu agar bekerja dan kuliah bukan sebuah pertentangan, tetapi sebagai jalan untuk menuju kesuksesan.

Setelah menjadi mitra pengemudi GrabBike, Dikki mengaku tidak pernah bolos kuliah. Ia selalu masuk kelas, sedangkan bekerja sebagai mitra pengemudi GrabBike selalu ia lakukan di luar jam kuliah.

“Fokusnya memang terbagi karena ada berbagai aktivitas, tapi saya tetap masuk kuliah, tetap mengerjakan tugas, tetap presentasi juga,” ungkap anak pertama dari dua bersaudara itu.

Selain itu, menjadi mitra pengemudi GrabBike membawa Dikki ke berbagai sisi kehidupan dan pengalaman. Berangkat Subuh dan pulang larut malam tak jarang ia lakukan. Meski menguras waktu dan tenaga, Dikki mengatakan, “Ketika kita ikhlas menjalaninya, semuanya menjadi menyenangkan, semuanya terasa ringan.”

Tak jarang, sebagai mahasiswa, ia mendapat orderan dari sesama mahasiswa dan dosennya. Namun, Dikki tidak gengsi sama sekali. Dirinya justru melawan stigma.

“Ah, saya nggak gengsi. Dari kecil juga diajari bahwa mun gengsi na gede, rezekina moal gede. (Jika banyak gengsi, rezekinya tak akan banyak). Saya juga terinspirasi dari Bon Jovi yang sebelum jadi musisi besar, dia harus jadi office boy. Yang kedua, Freddy Mercury, dia harus jadi tukang angkat koper dulu sebelum jadi vokalis Queen, dan juga banyak contoh-contoh yang lain. Jadi, saya nggak malu, apalagi saya tidak melakukan pekerjaan yang salah,” ujarnya.

Pengorbanan yang dilakukan Dikki untuk meraih cita ternyata didukung teman-temannya. Tak jarang, teman-teman sesama mahasiswa memuji perjuangan Dikki yang mandiri sebagai mitra pengemudi Grab.

“Yang jelas, mereka (mahasiswa) tidak ngetawain, justru mendukung dan memuji. ‘Wah, subuh-subuh ke kampus, nyimpen gorengan, dilanjutkan nge-Grab’ kata teman-teman saya. Mereka nanya, ‘Enggak capek?’, ‘Kalau dibawanya happy kan nggak capek,” ujar pria yang murah senyum ini.

Selain itu, suatu waktu, dia pernah mendapat order dari dosennya yang juga Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam. Hal ini menjadi salah satu pengalaman yang tak terlupakan baginya.

“Saya sedang mangkal. Tiba-tiba kriing kriing. Ada orderan dari Samsudin19**. Karena enggak ada fotonya, saya chat beliau. Saya penasaran. ‘Pak Sam, ini Pak Sam bukan’?” 

“Betul, Kang,” ujar Dikki sambil memegangi ponselnya, memeragakan kejadian saat itu.

“Ini Dikki, Pak. Mahasiwa bapak,” tiru Dikki sambil tersenyum.

“Oh, Dikki, hahaha. Oh sok kadie kasep (Oh, ke sini, ganteng),”

Dikki melanjutkan ceritanya, “Jadi, di jalan itu kami ngobrolin kuliah, ditraktir es kelapa juga, sama dilebihin ongkosnya. Ternyata, oleh Pak Sam, saya dijadikan bahan kuliah juga. Kan beliau itu dosen kewirausahaan, beliau bilang ke mahasiswa, ‘Contoh tuh kakak kelas kamu Dikki. Malam-malam masih berani nge-Grab, berani nganter bapak ke Lembang.” 

Kisah itu hanya sedikit dari banyak pengalaman yang Dikki alami selama menjadi mitra pengemudi GrabBike. Semua kesusahan dan kelelahan dia hadapi dengan niat ibadah. 

Di sisi lain, dengan menjadi mitra pengemudi GrabBike, Dikki berhasil menuntaskan studinya di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati dengan nilai memuaskan. Dia mengaku, waktu luangnya sebagai mahasiswa lebih berguna dan menghasilkan daripada sebelumnya.

Selain memenuhi biaya kuliah, hasil kerja kerasnya pun bisa ia gunakan untuk banyak hal, terutama untuk meringankan beban orang tua dan menyiapkan masa depannya. 

“Hasilnya lumayan. Saya bisa nyicil motor, bisa bayar kuliah sendiri, kemudian sudah bisa beli jajan dan ongkos adik sekolah, buat biaya orang tua juga, udah bisa juga renovasi rumah, terus ditabung buat nikah,” pungkas pemuda berusia 22 tahun itu.

Di usianya yang masih muda, Dikki mendapatkan banyak hal berarti. “Karena Grab juga, saya mengenal Kota Bandung. Semua rute jadi hafal. Berkat Grab juga saya punya teman-teman. Saya sangat berterima kasih kepada Grab, utamanya untuk pengalaman hidup.” 

Ke depannya, Dikki pun bertekad untuk tetap melayani masyarakat sebagai mitra pengemudi GrabBike sembari mencari kesempatan melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.

Dikki merupakan salah satu dari jutaan mitra pengemudi Grab meraih impiannya demi membahagiakan orang tersayang. Saat ini, Grab menyediakan layanan dengan jangkauan terluas di Asia Tenggara di 338 kota yang tersebar di 8 negara dengan lebih dari 152 juta unduhan aplikasi, termasuk Indonesia tempat Grab beroperasi di 224 kota dari Sabang hingga Merauke.

Berdasarkan hasil penelitian Riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics, Grab telah berkontribusi sebesar 48,9 triliun rupiah bagi perekonomian Indonesia di tahun 2018. Pada layanan GrabCar, rata-rata pendapatan mitra pengemudi tumbuh 114% dengan kisaran pendapatan Rp 7 juta per bulan. Selain transportasi, bisnis layanan pesan-antar makanan GrabFood juga berkembang pesat di Indonesia, beroperasi di 178 kota di Indonesia dengan volume pengiriman tumbuh hampir 10 kali lipat pada tahun 2018.