Rujak Kuah Ikan Pindang yang Tak Tergantikan

Koper sudah siap, baju dan peralatan lain sudah tersekap, dan sudah banyak bayangan pemandangan yang membuat dada dengan kencang berdetak. Salah satu destinasi liburan di Indonesia yang memiliki banyak sekali jumlah postingan di hashtag instagram adalah #Bali. Sambil scroll isi hashtag itu, terbayang beberapa waktu lalu, di mana ternyata ada hal menarik lainnya di Bali selain pantai dan klub malam. 

Perjalanan yang tak cukup jauh dari Jakarta menuju Bali tentu saja dengan menggunakan pesawat, mendarat dengan lantang di bandara Ngurah Rai, disambut dengan memesan GrabCar menuju penginapan. 

 

“Makanan apa ya yang unik, enak, dan otentik di sini?”

Kalau ngomongin wisata, sudah banyak cerita yang ada. Ngomongin makanannya, juga ada ayam betutu paling diminati di sana. Tapi, ada salah satu jajanan yang membuatku ingin terus kembali ke pulau ini. Bukan hanya untuk posting vitamin sea, atau foto di kolam renang sambil memegang gelas dan menatap ke arah langit. 

Makanan atau jajanan khas daerah tertentu memang selalu lebih memikat ketimbang yang umum. Di Bali tentu banyak banyak makanan khas. Daerah yang cukup panas ini harus dilebur dengan makanan yang membuat adrenalin meningkat. Apalagi banyak wisatawan yang suka sekali dengan atmosfer Bali. 

Salah satu yang bikin aku tertarik adalah rujak. Iya, rujak. Buah dan sambal yang diromantiskan. Semacam Romeo dan Juliet, Cinderella dan Pangerannya, Upin dan Ipin, Tsubatsa dan Misaki, Naruto dan Sasuke. Duet maut yang jika bersatu bisa membuat siapapun yang memakannya menjadi lebih bahagia. Terkesan lebay sih, tapi begitu lah adanya. 

Waktu menunjuk di angka satu, matahari cukup menyengat saat itu. Kami menuju warung rujak makanan khas Bali yang cukup terkenal. Jalanan kecil dua arah menjadi penghubung. Kanan-kiri terlihat di depan rumah ada saja beberapa benda yang disebut “sajen”, sudah menjadi tradisi tentunya.

Dari jauh sudah terlihat papan berukuran sedang berdiri dengan ramah di pinggir jalan. “Warung Bu Putu” terlihat seperti warung-warung pada umumnya. Warung ini nggak mencerminkan sudah berdiri 27 tahun, dan sudah mendatangkan banyak pelanggan termasuk wisatawan. Tapi seperti kata pepatah klise “don’t judge a book by it’s cover”, karena katanya juga, warung ini memiliki rujak dengan cita rasa yang tidak main-main. 

Sesampainya di sana, kami disambut banner iklan provider, dan juga menu yang terpampang di papan. Ada rujak gula, rujak kuah pindang, rujak kuah cuka, rujak petis, es campur, es daluman, es kelapa muda, tipat cantok, dan gado-gado. Oh iya, sebelum berangkat ke sini kami dapat wejangan dari orang sekitar “Kalau ke sana jangan naik kendaraan pribadi, susah parkirnya.” Dan kami mengaminkan hal tersebut. 

Suasananya cukup ramai, di bawah pohon yang cukup rindang, tak sabar rasanya mencicip rujak yang katanya rasanya menggelegar. Kami pesan menu yang digadang-gadang menjadi menu favorit, yaitu rujak kuah pindang. Sebentar… Ini kan isi rujaknya bakalan buah yah, tapi akan dicampur dengan kuah dari rebusan ikan. Unik sih, tapi gimana yah…

 

“Rujak kuah pindang dua porsi pedas, es kelapa muda 3, dan rujak kuah cuka satu juga pedas. Terima kasih.”

Bu Putu dengan sigap mengiyakan pesanan kami lalu mulai membuat semuanya. Sembari menunggu, aku menyicip jajanan ringan lainnya yang sudah disediakan siap makan. Menunggu memang bukan hal yang menyenangkan, apalagi menunggu sesuatu yang unik seperti ini. Ah rasanya ingin cepat-cepat jadi tanpa proses mencampur kuah ikan pindang dengan beberapa potong buah, lalu memanaskannya lagi dengan dipeluk daun salak, serta proses lainnya yang nanti menghasilkan maha karya dengan umur 27 tahun. 

 

“Silakan ini pesanannya.” 

Tibalah saat ini, saat di mana semua rasa penasaran terkungkung, saat lidah sudah tak sabar melakukan tugasnya sebagai indra perasa. Kuambil sendok yang ada, lalu perlahan tapi pasti, sendok itu meraih beberapa potong buah dan mengompakkannya dengan kuah ikan pindang. Sekitar 10 senti dari mulut, waktu terhenti seketika, kulihat dengan seksama sendok yang sudah tertumpuk buah dan kuah itu, mengendusnya sedikit “Amis nggak ya?” dan akhirnya dengan keyakinan penuh mulut terbuka dan mengenyam perlahan.

Cabai yang cukup menusuk, buah yang menebar segar, dan kuah ikan pindang yang… bagaimana cara menggambarkannya, ya. Nggak amis dan ada rasa asinnya sih. Rasanya memang unik, sulit untuk digambarkan. Tapi kalau dibilang enak, enak! Karena aku memesan yang pedas, jadi tiap kunyahan selalu diikuti dengan tegukkan es kelapa muda. Dan benar saja, adrenalin meningkat, rasa ingin mengunyah rujak itu terus mengejar cepat. 

Satu porsi tak cukup, kami memesannya kembali. Mengunyahnya lagi dan lagi. Bu Putu tau betul, kalau perpaduan unik ini bisa membuat tiap orang yang mencobanya akan ketagihan. Bahkan ketika makan rujak ini, aku lupa kalau cuaca Bali begitu menyengat. 

Kalau kamu yang tinggal di Bali nggak sempat ke Warung Bu Putu ini, langsung pesan di GrabFood adalah pilihan yang tepat. Selain susah dapat parkir, warung ini memang seperti drive-thru di restoran cepat saji. Orang datang dan pergi begitu cepat, menikmati segarnya rujak, pergi meninggalkan kenangan yang menjejak. 

Setelah lama scroll hashtag #Bali di instagram, rasa rujak kuah ikan pindang masih terasa di dinding mulut. Koper yang sudah disiapkan tadi mulai kutarik, suara di bandara ini masih khas sekali, penerbangan yang siap berangkat membuatku terangkat dari bangku ini. Rujak kuah ikan pindang dan Bali, aku akan datang lagi.

 

 

ALAMAT Jalan Blambangan, atau pesan di GrabFood

HARGA Kira-kira Rp15.000an / porsi

DETAIL Buka setiap hari dari pukul 8 pagi sampai 8 malam

MENU REKOMENDASI Rujak Kuah Pindang